DIGIDO- Filsafat bisa muncul dari sebuah kafe. Ungkapan yang bernada sinisme yang pernah ditulis Ernest Hemingway, itu rasanya tak terlalu berlebihan. Jean-Paul Sartre, filsuf terbesar Prancis, menunjukkan hal itu mungkin-mungkin saja. Paling tidak, ide-ide yang selalu berseliweran dalam karyanya, baik yang berupa novel, drama, atau karya teoritis, sering berawal dari diskusi-diskusi di kafe tepi Sungai Seine.
Buku Theory of Emotions karya Sartre bicara banyak tentang emosi. Ini adalah bagian awal dari kajian emosi filsuf legendaris ini. Sartre menulisnya saat ia berusia 34 tahun. Sebagai seorang aktivis yang selalu terlibat dalam diskusi hangat setiap topik, Sartre tak mau ketinggalan.Maka karya-karya pemikir besar yang saat itu ramai diperbicangkan pun menjadi bahasan hangat.
Dalam kupasan buku Theory of Emotions ini, Sartre seringkali menyebutnya sebagai sebuah sketsa teoritis bagai karya yang lebih besar nantinya. Pada dasarnya bergerak di antara dua pemikir besar yaitu Sigmund Freud dan Rene Descartes. Bila dari Freud, Sartre menyebut gagasan “bawah sadarnya” sebagai inspirasi karyanya ini, maka dari Descartes, Sartre meminjam rasionalias “cogito ergo sum”—saya berpikir maka saya ada— sebagai titik tolaknya.
Sartre menyatakan keduanya tak cocok lagi bagi sketsa teoritisnya. Sartre menolak keduanya, dan menyatakan bahwa adalah tugasnya untuk mengemukakan sebuah teori yang bersifat deskriptif sekaligus metafisis. Dan dalampendekatannya terhadap masalah emosi, Sartre mengaku, tak ingin bersusah payah menunjukkan atau mendefinisikan arti kata emosi.
Menurut Sartre, dengan emosi, manusia sesungguhnya sedang menunjukkan suatu perilaku tertentu yang menunjukkan jati dirinya. Meski demikian, emosi juga tak bisa dipahami lepas dari jati diri manusia itu sendiri. Emosi dan manusia tidak bisa diperlakukan sebagai suatu entitas yang terpisah.
Sartre, tampaknya memang berhasrat mengemukakan sebuah teori—sebuah sketsa menurut dia sendiri— tentang sifat manusia tanpa terjebak masuk ke dalam uraian tentang manusia dan relasi kognitifnya dengan dunia. Ini tampaknya sejalan dengan gaya eksistensial Sartre yang menyatakan bahwa manusia sebenarnya bukanlah apa-apa tanpa relasinya dengan dunia.
Seperti karya-karya teoritis Sartre lainnya, karya singkat ini sebenarnya juga tidak lebih mudah dipahami dibanding novel dan drama-dramanya. Lewat gaya bahasanya yang cenderung bertutur dan indah, Sartre seakan menyimpan makna yang seringkali bersifat ambigu. Karya-karya sastra Sartre mungkin dengan gamblang menunjukkan bagaimana relasi eksistensial seseorang ketika berhadapan dengan orang lain. Namun bila kita berharap apa yang secara tak langsung disampaikan Sartre dalam karya-karya sastranya tersebut akan kita jumpai penjelasannya dalam karya teoritisnya, maka harapan itu tak sepenuhnya akan terwujud.
Sartre, lebih suka mengajak kita bertualang dalam karya-karya besar sebelumnya seperti Freud, Descartes, Heiddeger, Hussrel dan menyimak apa yang mereka katakan tentang manusia dan relasi di antara mereka. Itulah yang mungkin bisa ditafsirkan dari esai singkat Sartre tentang emosi ini.
Bergerak dari filsafat ke psikologi, Sartre menunjukkan bahwa batas-batas keduanya sebetulnya hanyalah semu. Kita tak bisa memahami manusia lewat sepotong demi sepotong bukti yang disajikan oleh pengetahuan. Sartre ingin menekankan pentingnya perspektif filsafat bagi psikologi Freudian yang terlalu bergerak di alam bawah sadar manusia, dan mengabaikan fenomena-fenomena yang menyertainya secara eksistensial.
Meski psikologi sering mengklaim diri sebagai sebuah disiplin yang bersifat positivistik, menurut Sartre, kita tetap harus membatasi konsep pengamatan terhadap pengalaman sebagai sesuatu yang esensial yang berdiri sendiri. Sebab, pengalaman bisa saja berbeda bagi setiap orang, sejalansikapeksistesial yang sedang ia jalani.
Meski singkat, karya Sartre ini terasa sangat padat. Karya ini natinya akan menjadi sebuah karya yang lebih besar, yang membahas emosi dalam konteks filsafat eksistesial. Dengan karya ini, Sartre seakan memberi kita makanan pembuka sebelum kita menyantap makanan utamanya. --dgd